Tuesday, August 28, 2012

A Letter to My Idol





Title : A Letter To My Idol
Length : Oneshoot
Genre : Angst , sad romance
Casts : 'Aku' as You
                              'Idolaku' as your bias/Idol
Author : ssdnn (Nia)
Rating : PG 14


Annyeonghaseyo, reader-deul!! Saya kembali lagi sambil bawa FF yang satu ini. Ini saya bikin sebenernya banyak terinspirasi dari kejadian temen - temen. Kayak temen saya yang baru aja dapet tiket konser Big Bang, terus temen saya yang harus menghemat buat beli album dan sebagainya. Sisanya, saya pakai otak saya untuk berimajinasi.
Saya minta maaf kalau ada salah pengetikan dan sebagainya, juga salah gelar, tempat dan lain - lain. So, Happy Reading ~

***

Jam dinding di rumahku telah berdentang sebanyak 12 kali, menandakan bahwa saat ini waktu telah menunjukan pukul 12 malam. Aku, ditemani dengan penyakit insomnia yang selama ini kupunya, berusaha untuk merangkai kata – kata di dalam lembaran ini.
Kata – kata yang akan kutulis ini menceritakan tentang kisahku, sebagai seorang penggemar sekaligus murid SMP 3, dan idolaku, seorang artis laki – laki tampan yang berada di Seoul, ibukota Korea Selatan.
Mungkin bagi orang yang menilai karanganku melalui judulnya akan berpikir bahwa karanganku ini terlalu berlebihan atau terlalu dramatis atau mungkin aku terlalu berharap akan idolaku yang membaca karanganku. Mungkin memang iya. Aku tahu, persentasenya tak sampai 5 persen baginya untuk membaca karanganku. Tapi, apa salahnya untuk mencoba? Baiklah, singkat kata, inilah ceritaku, dengan segala kekurangan maupun kelebihanku.

***

Disaat malam hari, aku yakin bahwa kau pasti akan terlelap dengan waktu tidurmu yang kurang lebih hanya 2 jam itu. Aku diberi waktu untuk tidur sekitar 8 jam dari Tuhan, yang berarti 4 kali dari waktu tidurmu. Tapi, aku hanya memanfaatkan 3 jam dari waktu tidurku. 5 jam sisanya kugunakan untuk menonton setiap video acaramu.

Saat jam makan, aku tahu bahwa bahkan terkadang kau tak ikut untuk makan bersama temanmu yang lain, dengan alasan bahwa kau sangat sibuk. Tetapi aku, yang diberi makanan yang cukup, juga jam untuk makan yang teratur, malah asik bermain twitter dan Facebook untuk melihat berita terbaru tentang dirimu.

Saat kau memenangkan acara musik ternama, saat kau dinyatakan sebagai pemenang pertama di acara itu, aku menangis terharu ketika melihatmu juga menangis. Aku menangis dalam diam seraya memujimu. ‘Kau pantas mendapatkan itu.’ pikirku seraya tersenyum lebar, walaupun aku tahu kau tak dapat melihat itu.


***


Ketika aku berjalan melewati pertokoan di mall, aku melihat pernak – pernik bergambar dirimu. Aku mendekati pernak – pernik itu untuk melihat harga yang tertera pada label tersebut. Aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa harganya setara dengan uang jajanku selama 6 bulan.
            Aku segera pulang ke rumah, memecahkan celengan yang telah ku isi selama 4 bulan terakhir ini. ‘Aku harus berhemat.’ pikirku.
Hari – hari berikutnya, aku selalu berjalan kaki saat pergi ke sekolah atau pun untuk sekedar berjalan – jalan. Di sekolah pun, aku dengan terpaksa menahan nafsu makan mau pun minumku di kantin. Jujur, sewaktu itu aku sempat jatuh sakit. Penghematan yang aku lakukan ternyata tak berjalan lancar sesuai keinginanku. Penyakit maag yang kuderita ternyata menguras kembali uang jajan yang telah aku kumpulkan. Tak cukup dengan penyakit maag, Tuhan memberikan penyakit insomnia padaku, penyakit yang membuat aku tak dapat tidur. Tentu saja biaya pengobatan itu kutanggu sendiri. Bisa saja aku digantung di pohon yang berada di belakang kebun rumahku itu jika aku mengatakan bahwa aku menghabiskan uang jajanku demi idolaku.
Dengan total waktu 7 bulan, uangku kembali terkumpul. Aku pergi lagi ke toko itu, namun apa yang kudapat? Aku tak melihat pernak – pernikmu terpajang disana. Didukung dengan rasa penasaran, aku mencoba untuk menanyakan hal itu kepada petugas kasir. “Mbak, itu pernak pernik yang ada disitu dulu, sekarang  kemana, ya?” tanyaku seraya menunjuk sebuah rak besar, yang dulunya merupakan tempat terpajangnya pernak – pernikmu. “Maaf, Mbak.. Tapi..” ‘Jangan bilang kalau..’ pikirku mendahului pernyataan selanjutnya yang akan ia katakan. “Pernak – pernik itu edisinya terbatas. Kalau Mbak mau, bisa langsung pergi ke Korea buat beli pernak – perniknya.”
Aku mengepalkan tanganku. Apa aku kesal? Ya, tentu saja. Tetapi, perasaan kesal yang kumiliki itu menghilang seketika dan digantikan dengan perasaan kecewa karena perjuanganku, pengorbananku untuk tidak membeli makan atau pun minum di kantin, untuk tetap berjalan kaki dengan alasan ‘menghemat’ dan terlebih lagi, untuk rasa sakit yang selama ini kupendam. “Oh, makasih Mbak atas informasinya.” kataku sambil berusaha tersenyum. Miris.

Di saat itu, aku sedang menonton televisi. Aku membelalakan mataku saat melihat berita tentangmu. Bukan berita tentang kesuksesanmu, bukan juga tentang kondisi atau pun popularitasmu. Berita itu memperlihatkan gambarmu yang sedang berjalan dengan seorang gadis yang tak ku ketahui namanya. ‘Mungkin ia seorang fans,’ pikirku seraya menenangkan diri.

Tetapi, air mata ini tak dapat kutahan lebih lama saat aku melihatmu menghangatkan tangan gadis itu yang sepertinya sedang kedinginan di dalam gambar itu. Aku menunduk. Perlahan, aku melihat sebuah tetesan merah pekat yang menodai lantai kamarku, tempat aku menonton televisi. “Astaga! Mimisanku kambuh lagi.” gumamku tanpa sadar sambil berdiri untuk mengambil sekotak tisu yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat dudukku. Mimisan itu akan datang disaat aku terkejut, atau pun sedih. Ini merupakan penyakit turunan, yang tepatnya diturunkan oleh kakekku sejak dulu.
Aku memperbesar volume suara televisiku ketika aku mendengar namamu kembali disebut. Ternyata, berita itu menduga bahwa kau keluar dari sebuah diskotik bersama gadis itu. Saat itu juga, aku membuka twitterku dan mengecek timelineku. “Sudah kuduga,” desahku saat melihat berbagai kalimat yang tak mengenakan hati yang diketik oleh teman – temanku yang sebelum ini merupakan penggemarmu juga.
Aku merasa bahwa para media telah mengobrak – abrik privasimu. Aku membelamu secara tak langsung melalui internet. Mulai dari postingan, sampai meng-non aktifkan forum – forum yang menulis kebohongan tentang dirimu. Mungkin kau akan bertanya, ‘Mengapa? Apa aku sebaagi penggemarmu ini tak kecewa saat melihat idolanya keluar dari diskotik yang berada di pinggiran jalan bersama dengan seorang gadis cantik?’ Jawaban yang akan ku berikan sangatlah sederhana, yaitu karena aku mempercayaimu. Dan jawaban itulah yang membuatku nekat untuk bertengkar dengan orang yang menulis kebohongan tentangmu di jejaring sosial.
Karena aku tahu, mereka penggemar yang labil, yang hanya karena suatu masalah kecil saja, mereka yang tadinya mengagumimu menjadi menjelek – jelekan dirimu.
Seminggu setelah berita mengejutkan itu, kau dan pihak penanggung jawabmu mengadakan sebuah pertemuan yang dihadiri oleh dirimu sendiri, pihak penanggung jawabmu dan yang terakhir adalah media masa.
            Senyumku mengembang ketika aku mendengar setiap jawaban yang kau berikan kepada para media masa. Dan tepat seperti dugaanku, para penggemar labil itu kembali mengagumi dirimu saat mereka tahu kau yang mengambil alih seluruh pertemuan itu.

Tepat di pagi hari, pihak sekolah menghubungiku melalui telepon rumah. Aku cukup terkejut saat mereka memintaku untuk datang ke sekolah sekarang juga, bersama orang tuaku. ‘Padahal hari ini kan Hari Sabtu.’ gerutuku saat bersiap – siap, setelah memberitahukan pertemuan dadakan itu kepada mamaku.

Aku berjalan bersama mamaku di koridor sekolah. Kami berdua duduk berhadapan dengan guruku di bangku yang telah disediakan. “Nak,” kata guruku berusaha memulai pembicaraan. “Nilaimu turun drastis.” lanjutnya lagi dengan menghembuskan nafas berat. Aku terkejut mendengar perkataan itu. “Gimana kamu mau lulus SMP 3 kalau kamu tetap perhatiin itu cowok – cowok Korea yang bahkan kamu gak tahu bahasanya?!?!” teriak mama membahana di ruangkan kelas. Aku sedih mendengar perkataan mama. Bukan karena mama yang meragukan kelulusanku, tetapi karena mama yang secara tidak langsung menghina idolaku. ‘Aku memang gak tahu bahasanya, Ma. Tapi, setidaknya aku tahu perasaan mereka, karena aku juga punya perasaan.’ jawabku dalam hati. Aku menundukan kepalaku, menatap pada noda darah yang terdapat pada meja guruku itu. Dan pada saat itu juga, aku menutup hidungku, yang ternyata merupakan sumber dari noda itu. Ya, aku kembali mimisan.
Guruku langsung panik ketika mengetahui bahwa darah yang sedari tadi mengalir dari hidungku tak kunjung berhenti, malah bertambah banyak. Ia menatap mamaku, seakan meminta kepada mama agar berhenti mengomel dan mengobati aku. Tapi apa reaksi mama? Mama hanya membalas menatap guruku dan di detik berikutnya, ia kembali meneruskan omelannya.

“Pokoknya, segala fasilitasmu mulai dari handphone, laptop, komputer, televisi, itu semua mama sita!” tambah mama dengan ganasnya. ‘Ma, jangan dong ma..” pintaku dengan nada memohon sambil memegangi tisu yang menampung mimisanku. “Gimana aku tanya tugas yang aku gak ngerti kalau gak ada handphone?” lanjutku dengan nada memelas. Oke, ini hanya alasan nomor sekian yang sebenarnya ku pikirkan. Alasan pertamaku untuk menolak ide ini adalah kau. ‘Bagaimana caranya agar aku dapat mengetahui informasi terbaru tentangmu apabila tidak ada semua fasilitas itu?’ tanyaku dalam hati.

“Mama tahu itu cuma alesan! Kamu sebenarnya gunain fasilitas itu cuma buat ngeliatin cowok – cowok Korea itu, kan?!?!” sindir mama kepadaku. Kali ini aku menunduk. Tak membantah atau pun menyetujuinya.
            Aku bersama mama akhirnya kembali pulang ke rumah. Kami berdua sama – sama diam dengan pikiran kami masing – masing. Kalau aku, aku sedang memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari seluruh rintangan ini. ‘Pasti ada caranya.’ batinku. Kalau mama, mungkin ia sedang berpikir bagaimana menyengsarai hidupku lebih lanjut.

Sesampainya di rumah, mama berhenti tepat di depanku. “Oke, mama kasih kamu kelonggaran. Sampai jam 9 malam ini, kamu boleh gunain fasilitas kamu. Tapi, setelah jam 9 malam ini hingga kamu kuliah nanti, jangan harap kamu bisa menikmati fasilitas kamu lagi kalau kamu masih berani ngelawan mama, kecuali..” kata mama penuh penekanan pada kata ‘kecuali’. “Kecuali apa, Ma?” tanyaku penasaran. “Kecuali kamu bisa kasih mama nilai setidaknya 9 untuk semua ulanganmu dengan tanpa terkecuali, maka mama akan mempersingkat hukumanmu. Jadinya hanya sampai kamu lulus SMP ini.” kata mama seraya menatap mataku dalam. “Oke. Kalau itu yang mama mau. Aku coba.” kataku sembari membalas tatapan mata mama dan berlalu menaiki tangga menuju kamar tidurku.
Aku berdiri di depan lemari kaca yang berada di dalam kamarku. ‘Aku bukan orang yang cantik, bukan juga orang cerdas. Lantas, apa salah jika impianku adalah untuk bertemu denganmu?’ tanyaku seraya mengamati poster – poster mau pun foto – foto dirimu yang tertata dengan rapi di dekat lemari itu.
Jujur, aku sangat tidak yakin akan kata yang kuucapkan tadi kepada mama. Jangankan untuk mendapatkan nilai 9, jika saja aku mendapatkan nilai 8 setidaknya dalam ulanganku, mungkin satu sekolah akan gempar.
Tapi, taruhan yang mama pergunakan adalah fasilitasku, dimana itu merupakan satu – satunya alat penghubung yang ku miliki untuk mengetahui kabarmu. Maka dari itu, aku akan mencoba, mencoba untuk tidak menyerah pada hal yang ku tahu pasti akan ku capai.

Setelah hari itu, aku seperti menjadi seorang gadis kutu buku. Kemana – mana aku pasti membawa buku pelajaranku. Awalnya, aku berpikir bahwa kehidupanku mulai membosankan. Tetapi, pikiran itu segera kubuang jauh – jauh setelah hari itu, hari dimana papa mengubah sudut pandangku tentang kehidupanku yang sekarang.
Kejadian itu berawal saat papa memintaku untuk menghampirinya yang sedang terduduk di sofa ruang keluarga. Aku menurutinya. Dengan pandangan mata yang tak kulepas dari bukuku, aku berjalan menghampirinya. “Ada apa, Pa?” tanyaku tanpa menoleh kearahnya. “Papa punya penawaran bagus untukmu. Tapi, bisakah kau juga menjanjikan nilai 9 pada papamu ini?” tanya papa seraya menatapku. “Ya.” jawabku seadanya. Aku menatap kembali rumus – rumus fisika yang telah ku rangkum itu, seolah bukuku lebih menarik dari pada pembicaraan yang akan dibahas olehnya. Menurutku, papa juga akan melakukan penawaran yang sama dengan mama.

“Papa punya tiket konser idolamu itu. Kata temen papa, idolamu itu sebentar lagi mau konser di Jakarta. Papa pikir kamu mau nonton, jadinya papa beli itu tiket buat kamu. Dan gak Cuma itu, papa juga punya tiket pesawat terbang ke Korea Selatan. Papa sudah minta 2 tiket karena tadinya papa pikir kamu mau ikut sekalian temenin papa kerja. Tapi karena akhirnya idola kami itu adain konser di sini, jadi pilihannya ada di tangan kamu.” kata papa sambil mengakhiri kalimat itu dengan senyuman khas miliknya.
“Pa, papa tahu, kan, kalau aku gak suka bercanda kalau ujung – ujungnya ada kaitan sama idolaku?” tanyaku seraya menatap kecewa pada papaku karena aku pikir papa hanya ingin menghiburku saja. “Dan kamu tahu kan kalau sekarang pembicaraan papa lagi serius? Atau.. Kamu gak percaya sama papa?” tanya papa seraya mengambil 2 buah amplop putih di atas meja. Aku terkejut. ‘Apa papa beneran punya tiket itu?’ pikirku seraya mengambil tisu untuk menutupi darah yang baru saja keluar dari hidungku.
“Ini tiketnya. Papa kasih kamu waktu sampai minggu depan, dan minggu depan itu kamu sudah harus mempunyai jawaban.” kata papa sambil menunjukkan tiket itu dan berlalu pergi meninggalkanku dengan mimisanku.
Sekarang, tempat istirahatku di sekolah bukanlah di kantin lagi. Tempat itu berpindah ke perpustakaan. Aku mendengar desas – desus dari temanku tentang konsermu di Jakarta, kotaku sekarang berada.
Dan kurasa, dewi fortuna sepertinya tidak sedang berpihak kepadaku. Mereka berkata bahwa kau akan datang sewaktu aku Ujian Nasional. Aku menutup buku pelajaran yang sedang kubaca dan pergi keluar dari perpustakaan. Emosiku seketika tersulut karena mendengar perkataan itu. Aku segera mengambil tasku dan berlari untuk menenangkan diri.
Sebelum pulang, aku pergi ke sebuah danau yang ku yakini pasti sekarang sedang sepi. Aku menangis sejadinya disana. Sebenarnya, menangis adalah hal yang sangat merugikan untukku. Selain mataku yang mengeluarkan cairan, tetapi juga hidungku yang mengeluarkan darah. Merugikan, bukan?

‘Gimana aku bisa nonton kalau begitu caranya? Kenapa konsernya gak diundur aja?!’ teriakku dalam hati. ‘Padahal aku sudah belajar keras buat nonton konser kamu. Meskipun itu cuma nonton dan gak bisa ngeliat kamu secara pribadi, tapi aku rela..’ rintihku dalam hati.

Setelah kira – kira 2 jam berdiam diri, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan wajah pucat pasi.

“Kamu kenapa?” tanya papa dengan raut cemasnya. “Aku gak apa – apa, kok Pa. Tadi Cuma mimisan di kelas, jadinya mukaku pucet, deh.” terangku berbohong, sambil menaiki tangga menuju kamar. “Pa, aku tidur dulu, ya. Habis tidur aku mau belajar. Nanti malam aku gak usah disiapin makanan, soalnya aku tadi baru aja makan. Jangan ganggu aku, ya Pa. Aku lagi mau sendiri. Oh iya, Pa.. Soal tiket konsernya.. Dibatalin aja. Aku lebih milih ikut papa.” kataku sambil berusaha tersenyum pada papa.
“Ya sudah, terserah kamu aja.” kata papa sambil menatapku bingung. Aku berjalan dengan gontai menuju bangku kamarku. Aku mengeluarkan buku kimiaku dan berusaha untuk konsentrasi dalam pelajaran itu, namun hasilnya nihil. Dan saat itu, aku merasa gagal untuk menjadi penggemarmu, atau lebih tepatnya pendukungmu. Karna menurutku, aku adalah gadis yang beruntung karena bisa mendapatkan setidaknya satu tiket yang sekarang sedang diperebutkan oleh orang lain. Tapi aku menolak keberuntungan itu.
Aku lebih memilih untuk belajar daripada menonton konsermu. Bagiku, kita masing – masing mempunyai masa depan. Seperti kau dengan gelarmu sebagai artis dan aku sebagai pelajar yang masih ingin meneruskan sekolahku.
Dan terlebih lagi, jika aku menonton konsermu tapi nilaiku jelek, sama saja dengan menghilangkan kesempatan bagiku untuk mendapatkan fasilitas itu lagi, yang berarti aku akan kehilangan seluruh kabarmu setelah konser itu.


***

Jam di kamarku berdentang sebanyak 11 kali, seakan menyuruhku untuk tidur. Tetapi, berat rasanya bagiku untuk menutup mataku saat ini. ‘Insomnia lagi, deh..’ pikirku seraya merebahkan badanku pada kasur ranjangku.
Saat itu, aku seperti melihat bayanganmu yang sedang berjalan menghampiriku. Aku terkejut bukan main. Aku menepuk pipiku berulang – ulang, tetapi kau masih tetap berada disana, berdiri dengan menggunakan satu kaki dan tangan yang dimasukkan kedalam saku celana jeansmu juga dengan mengenakan kaos putih yang biasanya aku lihat di video – video atau pun di foto – fotomu itu. “Tidak. Itu pasti hanya khayalanku saja.” gumamku seraya menunduk untuk menghentikan mimisan yang ternyata telah mengalir dari hidungku sejat dari. “Waeyo? ( Kenapa? )” Ya Tuhan, apa aku bermimpi? Benarkah tadi ia berbicara padaku? Jika iya, maka aku berarap agar kau tak akan membangunkanku secara tiba – tiba.

Aku diam, tak menjawab pertanyaanmu. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk mencerna semua ini. Tapi pada detik berikutnya, aku berdiri dan menarik tanganmu menuju balkon yang ada di belakang kamarku.

Kau duduk di sebuah kursi ayunan yang dapat memuat 2 orang, lalu aku juga ikut duduk disampingmu.
“Kau lihat bintang itu? Itu namanya bintang sirius, bintang yang paling terang dari antara semua bintang, kecuali matahari. Tapi, sinarnya akan redup atau bahkan hilang setelah ia melakukan itu. Aku ingin menjadi bintang sirius bagimu, yang berarti menjadi pendukungmu yang setia, walaupun entah malam ini, esok hari, lusa atau pun sebulan maupun satu tahun yang akan datang aku akan mati. Aku telah berusaha semampuku, walaupun hasilnya sia – sia.
Dan aku tahu, kau tak mungkin mengerti perkataanku karena perbedaan bahasa yang menjadi penghalang dunia kita, tapi aku yakin kau pasti mengerti perasaanku, karena kita sama – sama memiliki perasaan.. “ kataku sambil menangis.
Uljima! ( Jangan menangis! )” balasmu seraya mendekapku ke dalam peukanmu. “Apa pun yang terjadi, aku mohon, anggaplah aku sebagai penggemarmu, penggemar setiamu.” Kataku dan berlalu tidur dengan posisi masih di dalam pelukanmu.

Sinar matahari pagi merasuki indra penglihatan yang kumiliki. Aku membuka mataku dan melihat bahwa aku tertidur di atas kursi ayunan. Aku berjalan dengan lesu menuju lemari pakaian dan mengambil baju seragamku. Jika saja aku tak mengingat bahwa hari ini adalah hari pertama Ujian Nasionalku, maka mungkin aku tak akan bangun sepagi ini.
Setelah selesai mandi, aku bergegas turun ke lantai bawah untuk mengambil selembar roti dan memasukannya secara asal kedalam mulutku. Aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju sekolah, setelah aku mempertimbangkan bahwa aku tak akan telat karena itu.

Aku memasuki ruang kelas dan menduduki bangku yang telah berlabel nomor ujianku. Aku mengerjakan soal – soal yang diberikan dengan semampuku. Sambil berharap akan nilai yang terbaik, aku menyusuri setiap soal dengan mataku. ‘Cukup mudah.’ pikirku.


***

4 hari telah berlalu dan itu berarti aku telah menyelesaikan Ujian Nasionalku dan saat  itu, aku masih berharap agar setidaknya aku dapat berkhayal lagi tentangmu, dalam wujudmu yang sesungguhnya seperti malam itu.

Saat itu, aku sedang berjalan menuju kantin sekolah. Tapi tunggu. Aku melihatmu sedang berjalan ke arahku, dengan menggunakan pakaian yang sama pada malam di rumahku itu. Aku berusaha menyekat darah mimisan yang lagi – lagi mengalir disaat yang tidak tepat itu. Tapi aku merasa sia – sia karena hampir seluruh baju seragamku telah dipenuhi darah dan tiba – tiba saja, semuanya menjadi gelap.
Samar – samar, aku melihat dinding bernuansa serba putih mengelilingiku. “Lo udah sadar? Tadi pihak sekolah panggil dokter supaya kesini. Dokter itu bilang lo kena penyakit skizofrenia, Awalnya gue sempet bingung itu penyakit apaan. Tapi si dokternya kasih tahu, skizofrenia itu penyakit yang gak bisa bedain halusinasi sama kenyataan. Dan tadi lo juga pingsan gara – gara kehilangan banyak darah.” jelas temanku, Karina dengan panjang lebar. “Emangnya lo halusinasi apaan sih? Bingung gue..” lanjutnya lagi. “Eh? Apa ya? Gue gak tahu..” jawabku, berbohong. “Oh. Ya udah, kalo lu lupa juga gak apa – apa. Eh, ngomong – ngomong, bokap lo ada di depan, lagi ada urusan sama si dokter. Terus, lo tahu, gak? Lo masuk peringkat 3 besar loh seangkatan!! Tadi tuh gue seneng banget! Akhirnya sahabat gue pinter juga! Rata – rata lo juga lebih tinggi daripada gue. Gue aja Cuma 92.. Lo 95.” kata Karina sambil tersenyum lebar. “Masa? Yang bener, Rin?!?” tanyaku seraya menatap tepat pada manik matanya. “Ya ampun! Masa lo gak percaya sama temen lu sendiri?! Ini lihat! Gue tuh tadi sempet fotoin!” kata Karina sambil menunjukkan handphonenya itu. “Oh. Iya – iya. Gue percaya.” kataku seraya tersenyum kepadanya.

Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian mimisan di sekolah itu. Dan sekarang, aku berada di Bandara Soekarno – Hatta, Bandara Internasional Jakarta. Aku disini untuk menepati perkataanku kepada papa untuk ikut bersamanya ke Korea Selatan.

Samar – samar, aku mendengar teriakan dan bisikan orang – orang, terutama para gadis. Mereka membawa sebuah papan besar yang kira – kira berukuran 1 meter itu sambil meneriaki satu nama yang tak dapat ku dengar dengan jelas. Karena jarakku yang cukup jauh, aku pun juga tak dapat melihat papan itu. Tapi aku tidak menghiraukan itu, aku tetap berjalan lurus menuju tempat pemeriksaan barang – barang.

Saat sedang mengantri, mataku tiba – tiba menangkap seorang yang sangat kukenali di tempat sepi itu. Tebak itu siapa? Itu adalah kau. Aku melihatmu menggunakan kaos putih dan celana jeans, persis seperti apa yang kulihat sewaktu gambaranmu itu berada di rumah maupun di kantin sekolahku.
Aku menatapmu dengan tatapan ragu dan tak percaya. Seperti magnet, sosok tubuhmu seakan tak pernah lepas dari indra penglihatanku. Hingga akhirnya, kita bertemu di satu titik, dimana saat itu kau tersenyum padaku.
Tapi sayangnya, aku lupa untuk tersenyum balik kepadamu karena aku terlalu tegang dan bingung juga ragu akan kehadiranmu yang datang secara tiba – tiba itu.
Aku merasa udara disekitarku semakin menipis dan waktu terasa berhenti saat kau berhenti tepat di depanku. “Kata temen papa, dia konsernya diundur. Kamu beruntung bisa bertemu secara pribadi dengannya. Dan satu lagi, ini bukan mimpi atau pun halusinasi.” bisik papa seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku terkejut saat melihat kau yang semakin mendekat kearahku, lalu menunduk untuk mensejajarkan tinggimu yang seperti tiang listrik itu, dengan tinggiku yang seperti kurcaci. “Gwaenchana-yo? ( Tidak apa – apa? )” tanyamu membuyarkan lamunanku. “Eh? N-nan gwaenchana.. ( Eh? A – aku tidak apa – apa.. )” jawabku dengan terbata – bata.
Setelah itu, kau berlalu sambil tersenyum, meninggalkanku yang masih menatap kepergianmu dengan segudang perasaan yang berbeda. “Ah! Aku lupa memfotonya!” pekikku saat kau benar – benar telah pergi menuju ruang tunggu pesawatmu. Tapi untuk selanjutnya, aku menari kedua sudut bibirku, membentuk sebuah senyuman. ‘Setidaknya tadi Tuhan mengontrol mataku untuk tetap berfokus padamu. Setidaknya Ia tahu bahwa waktu yang kita miliki sama – sama tidak banyak dan setidaknya Ia tahu, bahwa aku sangat senang dengan pertemuan itu..’ ucapku dalam hati sambil berharap agar dilain kesempatan, kita dapat bertemu lagi.

 Dari : Bintang siriusmu
                                                                                                          Untuk  : Idola tercintaku


-FIN-

2 comments:

Unknown said...

daebak banget nonna T^T kerasa bgt

ssdnn said...

Hehehe:D
Makasih saeng^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...