Title : Whenever I Meet You in The Airport
Length : Oneshoot
Genre : Angst , sad romance
Casts : Chanyeol - Exo K
HaNi - OC
Author : ssdnn (Nia)
Rating : General
***
Oke. Mian saya lama banget update blog nyaTT.TT
Ini semua gara - gara saya ngincer ngerjain FF yang lainnya buat ikutin kontes FF gituu~~
Oke, sebagai permintaan maafnya, saya ga mau banyak cincangcingcong lagi.__.
So, Happy Reading~
PS : DON'T BE SILENT READER AND NO BASHING, PLEASE!
HARGAIN HASIL KARYA AUTHOR!!
***
“Chanyeol!! Chanyeol!!” teriak para penggemar
ketika aku keluar dari Bandara Incheon, bandara Korea Selatan. Lagi – lagi, aku
melihat gadis itu diantara kerumunan penggemarku. Setelah melakukan konser
keliling Asia, kini aku kembali lagi ke Seoul dan seperti biasanya, gadis itu
membawa papan namaku setinggi 1 meter dan mengenakan kaos yang bergambarkan
diriku dengan dipadu celana jeans panjang miliknya.
Selama ini, ia selalu ada dan tak pernah absen
saat aku sedang berada di bandara. Mungkin memang ada beberapa penggemar yang
se-fanatik itu. Tapi yang membuatku selalu melihat kearahnya adalah setiap
tetes darah yang mengalir tanpa henti dari hidungnya. Ia tetap memegang papan
nama itu dan berteriak – teriak, walaupun sekarang darah itu telah menetes ke
baju putihnya yang –seperti kukatakan tadi- bergambar diriku.
Aku tersenyum tipis saat melihat perjuangannya
untuk menemuiku dan mengabaikan darahnya. ‘Ia bahkan seakan lupa pada
penyakitnya ketika aku keluar saat itu.’ batinku seraya menaiki mobil yang
telah dipesankan oleh manager tadi.
***
Kini aku berada di Bandara Gimpo, bandara Pulau
Jeju. Aku menyusuri setiap orang yang berteriak memanggil namaku. ‘Kemana gadis
mimisan itu?’ tanyaku dalam hati. Walaupun aku sudah mengelilingi bandara ini,
tapi tetap saja sosoknya itu tak tertangkap oleh mataku.
Seminggu setelah itu, aku kembali lagi ke Bandara
Gimpo. Karena kebetulan jadwalku yang tidak begitu padat, aku bersama managerku
menetap di Jeju untuk sementara waktu.
Tiba – tiba, aku merasa mataku menangkap sesosok
orang yang sudah tak asing lagi. Ia masih tetap sama, mengenakan baju putih
bergambar diriku, celana jeans panjang sambil membawa papan nama itu. Tapi
bedanya, papan nama itu kini tak sebesar dulu lagi. Kurasa, ia menggantinya
dengan karton manila agar lebih mudah dibawa. Dan terakhir, kini aku melihatnya
menggunakan kursi roda.
Aku menatap matanya secara intens dan perlahan
tapi pasti, aku menghampirinya. “Hey!” sapaku saat aku berada di depannya.
“C-Chanyeol-ssi?!” pekiknya lalu seketika itu juga, ia pingsan tepat
dihadapanku.
Aku membawanya ke rumah sakit. Entah mengapa, tapi
jantungku berdebar tak karuan saat melihatnya terkulai lemas seperti itu. “Ia
terkena penyakit leukemia, Chanyeol-ssi.” ucap sang dokter kepadaku. ‘Deg.’
seketika itu juga, aku merasa dunia berhenti berputar dan udara disekitarku
semakin menipis saat ini. “Sampai kapan ia bisa bertahan hidup?” tanyaku dengan
pandangan kosong kearah dokter itu. “Saya tak dapat mengontrol kehidupan
manusia maupun meramalkan jangka hidupnya, Chanyeol-ssi. Tapi menurut saya,
gadis ini tak mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Ada lagi yang anda ingin
tanyakan, Chanyeol-ssi? Baiklah kalau begitu, saya permisi.” kata dokter itu
dan berlalu pergi setelah aku menjawab pertanyaannya itu dengan sebuah gelengan
pelan.
“Siapa namamu?” tanyaku kepada gadis itu ketika ia
membuka matanya. “C-Chanyeol-ssi?! Dimana ini?” tanyanya dengan heran. Hampir
saja aku tertawa melihat mukanya yang kelewat polos itu jika aku tidak mengingat
bahwa ia sedang sakit. “Kau di rumah sakit. Tadi kau pingsan setelah aku
menyapamu. Siapa namamu?” tanyaku padanya setelah menjelaskan kejadian yang
tadi itu. “E-Eh? Namaku HaNi, Chanyeol-ssi.” jawabnya kaku. “Ya Tuhan! Apakah
aku bermimpi? Kurasa setelah ini, Kau boleh mengambil nyawaku karna aku telah
bertemu dengan Chanyeol..” gumamnya pelan namun masih bisa kudengar. “Tidak.
Kau tidak boleh mati. Kau adalah inspirasiku untuk tetap tersenyum dan membagi
senyumku. Bagiku, kau adalah matahari yang menerangi bumi. Jika kau mati, maka
siapa yang akan menerangi bumi ini? Dan siapa yang akan kuperhatikan lagi pada
saat aku berjalan keluar dari bandara? Aku ingin agar mata dan senyumku menjadi
hal yang pertama kali kau lihat saat pagi hari, sore hari atau pun malam hari.
Aku ingin agar kau dapat melihatku dan hanya melihatku saat kau tersadar atau
pun terbangun dari alam bawah sadarmu. Atau setidaknya aku akan menitipkanmu
pada temanku atau aku akan menuliskan sepucuk surat jika aku berhalangan untuk
hadir di depanmu.” ucapku panjang lebar, menentang gumamannya yang tadi.
Ia terdiam. Aku tersenyum kepadanya lalu tiba –
tiba saja, aku memeluknya tanpa sebab. “Jangan lakukan hal – haln bodoh selama
aku tidak ada. Aku tak ingin kehilangan matahariku.” ucapku lalu pergi
meninggalkannya.
Selama seminggu penuh, aku selalu mengunjunginya
setiap pagi, siang dan malam. Untuk mengatasi kesunyian yang terkadang
menyelimuti kami, tak jarang aku membacakannya sebuah novel yang selama ini
belum pernah kubaca.
“Dan laki – laki itu menggenggam tangan si gadis
lalu menyatakan perasaannya. Ia berjanji untuk tetap bersama si gadis walau
satu diantara mereka atau bahkan walau mereka berdua jatuh sakit, walau rambut
mereka telah memutih atau pun walau mereka mati nanti, ia berjanji untuk
menjaga gadis itu, apa pun yang terjadi.” ucapku kepadanya yang langsung
disambut dengan dengkuran halus.
Aku merogoh telepon genggam yang sedari tadi telah
bergetar di saku celanaku. Setelah membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh
manager, aku segera menuliskan sepucuh surat untuk HaNi.
Selamat
Hari Valentine, HaNi! Semoga kau mendapatkan banyak kasih sayang pada hari ini.
Hari ini, aku akan menjalankan syuting film perdanaku dan itu adalah alasan
mengapa aku tidak menjengukmu pada pagi ini. Aku akan kembali pukul 4 sore dan
semoga harimu menyenangkan!” tulisku
dan berlalu pergi.
Jantungku berdegup kencang saat aku memilihkan
cincin untuk gadis itu. Aku berencana untuk melamarnya pada hari ini juga, Hari
Valentine. Dengan bermodal cincin yang kuhias dengan setetes darahku yang
membentuk ukiran inisal namaku dan dirinya, aku melangkahkan kakiku menuju
rumah sakit itu.
Aku sungguh terkejut ketika aku tak menemukan
dirinya di dalam ruangan itu. Aku hanya dapat melihat sebuah ranjang polos yang
diatasnya terdapat sebuah boneka beruang dengan kalung liontin dan sepucuh
surat. Yang kutahu, itu adalah boneka yang selama ini ia peluk dan ia tak dapat
tidur jika boneka itu tidak di dekatnya. “Maaf, ia sudah berpulang ke surga
sejak 3 jam yang lalu, Chanyeol-ssi.” ucap salah satu suster yang baru saja
membereskan beberapa peralatan HaNi yang tertinggal.
Dengan perlahan tapi pasti, aku mendekati ranjang
itu lalu duduk di tepiannya dan memabca surat itu dengan seksama.
Selamat
Hari Valentine juga, Chanyeol-ssi! Dan maaf jika aku meninggalkanmu tanpa
kabar. Bagaimana dengan syuting film perdanamu? Kuharap itu sangatlah
menyenangkan. Kupikir, aku tak akan pernah bisa untuk menjadi matahari yang
selalu menyinari bumi. Lagipula, itu adalah tugas yang sangat berat sekaligus
menguntungkan dan kurasa, aku tak akan bisa menjalaninya terutama jika yang
harus kusinari itu adalah duniamu. Aku berharap agar kau
bisa mendapatkan seseorang yang pantas untuk menyinarimu. Sungguh, pertemuan
kita di bandara sewaktu itu membuatku terkejut, gembira, terharu sekaligus
penasaran. Aku terkejut saat kau tiba – tiba menyapaku, gembira ketika ternyata
kau sangat perhatian kepada penggemarmu, terharu ketika kau membacakan cerita
itu dan juga ketika kau menyebutku sebagai inspirasi dari senyummu yang sangat
menawan itu dan yang terakhir, aku penasaran saat kau hanya duduk terdiam di
bangku itu sementara otakku telah terpenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak
dapat kuucapkan karena mulutku yang selalu terasa kaku saat memandangmu.
Tentang novel itu, aku berharap agar laki – laki itu adalah kau. Aku ingin agar
kau menepat setiap janjimu, aku ingin agar kau setia dan tetap tersenyum, juga
ingin agar kau tak akan melupakanku.
Untuk
boneka itu, aku memberikannya kepadamu. Jangan pernah membuang boneka itu! Jika
kau tak menyukainya, lebih baik kau memberinya kepada pengemis dari pada kau
membuangnya! Tapi bagaimanapun juga, aku sangat berharap agar boneka itu lah
yang menjadi tempat curhatanmu, menjadi tempat kau menangis atau pun tersenyum,
juga dapat menjadi gulingmu saat kau tertidur. Dan liontin itu adalah hadiahku
untuk Hari Valentine ini. Kuharap kau dapat melihat isinya dan memakainya.
-HaNi-
Aku menangis seraya memeluk boneka itu. “Aku telah
menepati janjiku untuk berada di dekatmu setiap kau terbangun ataupun tersadar
dari alam bawah sadarmu. Dan seperti ucapanku, aku telah menuliskan surat
sebelum aku pergi tadi pagi. Masih tak cukupkah itu untuk membuktikan bahwa aku
mencintaimu?!? Jika kau menginginkan aku menjadi sosok laki – laki yang ada
pada novel itu, maka aku menginginkanmu menjadi sosok gadis itu, sosok yang
menerima laki – laki itu dengan apa adanya. Dan untuk apa aku menghias cincin
itu dengan darahku sendiri jika yang memakainya itu adalah orang lain dan
bukannya kau?!” ucapku dengan suara serak. Aku meraih liontin itu dan betapa
terkejutnya aku saat aku menemukan fotoku disisi depan liontin dan fotonya
disisi yang bersebrangan dengan fotoku. “Jika aku tidak menemuimu saat itu di
bandara, jika saat itu aku tak mengikuti instingku untuk membawamu ke rumah
sakit, mungkinkah rasa cinta ini akan berkurang?” tanyaku pada diriku sendiri
sembari menyatukan liontin dan cincin itu menjadi satu di dalam satu rantai
lalu mengalungkannya di leherku. “Setidaknya kau membiarkan kenangan manis itu
berdiam diri di dalam pikiranku.” ucapku dalam hati dan di detik berikutnya,
aku tersenyum setelah melihat fotomu di dalam liontin itu. Seperti yang
kukatakan dulu, kau adalah inspirasiku untuk tetap tersenyum dan senyummu itu
seakan membawaku kembali ke detik – detik disaat aku bertemu denganmu di
bandara.
-FIN-
No comments:
Post a Comment