Title : Life and Destiny
Length : Ficlet
Genre : school life, tragedy
Casts : 'Aku' as reader
Kevin ( U-kiss ) as cameo
others
Kevin ( U-kiss ) as cameo
others
Author : ssdnn
Rating : General
Annyeong reader-deul!! Berhubung itu minggu depan saya UTS, saya jadi mau publish 1 FF lagi.. Mungkin, MUNGKIN aja.. itu saya ga bakal update ini blog sampe sekitar tanggal 20.. Kenapa? Soalnya saya UTS dari tanggal 8 -16 dan setelah itu, sekolah saya ngadain study wisata^^
Well, disini saya juga minta maap karena si 'Kevin' ini cuma saya jadiin cameo~~
So, dari pada banyak ceramah lagi,
Happy reading, guys!~
***
Pagi ini, aku terbangun pada
pukul 7 lewat 15 menit. “Astaga! Aku terlambat interview kerja!” pekikku sembari turun mengambil kemeja dari
lemari pakaianku dan mandi. Setelah membuang waktu selama 10 menit di kamar
mandi, aku turun ke basement dari
apartemen yang kutinggali ini. ‘Bisakah Lift ini berjalan lebih cepat?!?’
tanyaku dalam hati ketika lift ini masih berada di lantai 10. Dengan modal
tenaga pagi dan kenekatan, aku keluar dari lift dan menyusuri tangga darurat
untuk sampai di basement. “Ya Tuhan!
Kunci mobilku tertinggal di kamar!” ucapku tanpa sadar seraya menepuk dahi.
Aku memutuskan untuk berlari
menaiki tangga menuju lantai 15, lantai dimana ruangan apartemenku berada.
Setelah mengambil kunci mobil dan memastikan tidak ada yang tertinggal, aku
kembali lagi menuruni tangga menuju lantai basement.
“Kenapa mobilnya tak bisa dinyalakan?!?” teriakku saat aku lagi – lagi gagal
dalam menyalakan mesin mobil yang sudah usang itu. “Argh!” umpatku dan segera
berlari menuju kantor tempatku akan mendaftarkan diri.
“Maaf, tapi pakaianmu basah
dan kau terlambat selama 30 menit. Kau kami tolak.” ucap pimpinan perusahaan
itu dengan datar, namun dengan jelas kalimat itu menancap di hatiku. ‘Ini
karena mobil itu!’ makiku dalam hati seraya menendang sebuah kaleng minuman di
jalanan.
“Kau! Ganti rugi! Lihat, mobilku menjadi
penyok seperti ini karena tendangan kalengmu itu! Kalau kau ingin bermain sepak
bola, jangan disini, tapi di lapangan!” teriak seseorang yang membuatku takut.
Dan dengan terpaksa, aku merelakan beberapa lembar uang yang berada di dompetku
itu.
‘Kring.. Kring..’
Aku mengangkat telepon
genggamku yang sedang berbunyi. “Halo? Apa?!? Tapi kena- Halo?” ucapku terputus
ketika kekasihku itu memutuskan hubungan via telepon kami. ‘Setelah terlambat
bangun, ditolak perusahaan, membayar ganti rugi karena ulahku, diputusi oleh
pacarku sendiri, lalu apa lagi kejadian buruk yang akan menimpaku setelah ini?
Tuhan, bahkan sekarang ini belum lewat dari kata siang hari tapi Kau telah
memberikanku banyak cobaan? Bagaimana bisa aku melewati hari jika kejadian
buruk seperti ini tetap terjadi?!?’ protesku dalam hati dan tanpa kusadari,
ternyata aku terlambat untuk memasuki kelas pada hari ini.
Sekarang mataku sedang mencari
– cari sebuah buku tentang sastra. Ya, karena terlambat, aku tidak
diperkenankan untuk mengikuti pelajaran pertama di universitasku ini. Kebetulan
sekali, dosen jam pertama yang mengajar adalah dosen yang killer. Jadi menurutku, tidak mengikuti pelajarannya tidaklah
buruk.
‘Ah! Itu dia!’ batinku seraya
menunjuk sebuah buku yang kuinginkan. Namun aku terlambat, ternyata sudah ada
seseorang yang memegang buku itu dan mengambilnya. Aku kembali melihat – lihat
buku di bagian komik, namun sepertinya setelah kejadian pada hari ini, aku
sudah tidak bernafsu lagi untuk membaca buku. “Astaga! Aku juga melewatkan
pelajaran jam kedua!” teriakku tanpa menyadari bahwa aku kini sedang berada di
dalam ruangan perpustakaan. “JANGAN BERISIK!” teriak petugas perpustakaan itu kepadaku yang kubalas
dengan cengiran lebar.
Karena sudah terlanjur
melewatkan 2 jam pelajaran, kini aku tetap terduduk di perpustakaan. Aku
memutuskan untuk membolos pada hari ini. “Toh
juga hari ini cuma 3 jam pelajaran.” ucapku dalam hati seraya bermalas –
malasan di perpustakaan.
“Kau dipanggil Sir Kevin.” ucap salah seorang sahabatku
itu ketika kami berpas – pasan di koridor kelas. ‘Apa aku berbuat salah kepada
dosen killer itu?’ batinku seraya
berjalan menuju ruangan kerjanya.
“Aku memanggilmu kesini untuk
memberitahu bahwa nilaimu kukurangi 1 poin karena keterlambatanmu tadi.”
ucapnya datar, namun lagi – lagi kalimat itu menancap hatiku untuk yang kedua
kalinya. “Jadi berapa Sir?” tanyaku
memastikan. “99. Sayang, bukan? Seharusnya bisa 100, tapi karena kau terlambat
tadi, maka aku menguranginya.” katanya enteng. ‘Tuhan.. Tidak tahukah Kau bahwa
aku telah mengharapkan nilai itu selama 2 tahun terakhir ini?’ ujarku dalam
hati seraya menutup mata, mencoba untuk menahan tangis. “Makasih, Sir atas informasinya.” ucapku sambil
mengusahakan untuk tersenyum.
“Tin Tin!” bunyi klakson
sebuah mobil mengganggu kegiatan berjalanku dan setelah itu, aku merasakan
serluruh kejadian berputar dengan cepat.
Aku
kembali sadar ketika aku merasakan sakit pada lututku. “Ah! Darah..” rintihku
hampir menangis. ‘Tidak tahu kah Kau bahwa aku sangat takut pada darah?’
protesku dalam hati seraya berjalan pelan – pelan menuju rumah sakit terdekat.
“Lukanya tidak parah, tapi
diusahakan jangan banyak jalan untuk 2 hari ini.” kata dokter itu dan berlalu
pergi. ‘Setelah ditabrak, kini aku harus membayar?!?’ omelku dalam hati seraya
menyerahkan beberapa lembaran uang ratusan ribu rupiah itu dengan terpaksa.
Aku melirik kearah jam tangan
yang telah melingkar sejak tadi di pergelangan tangan kiriku. ‘Ya Tuhan! Aku
terlambat les musik!’ batinku seraya berlari sembari membawa tas ranselku,
tanpa memperdulikan rasa sakit yang telah menjalar di seluruh bagian kakiku.
“Maaf, aku terlambat.” ucapku
sambil terengah – engah kepada guru itu. “Duduk.” perintahnya dan setelah itu,
ia menceramahiku dengan berbagai bahasa. Aku menanggapi kalimatnya itu dengan
anggukan ataupun gumaman kecil. ‘Lagi – lagi gak belajar deh.’ ucapku seolah
menebak kejadian selanjutnya yang akan terjadi di tempat les ini.
Setelah diperbolehkan untuk
pulang, aku menangis seraya berjalan seorang diri menuju apartemen. Aku menatap
langit dan seketika itu juga, aku merasa bahwa kini langit sedang menangis
bersamaku ketika aku melihat warna langit itu telah berubah menjadi hitam dan
didukung dengan beberapa tetes rintik hujan.
“Setelah terlambat bangun
pagi, ditolak perusahaan, membayar ganti rugi, diputusi pacar, terlambat masuk
kelas, nilaiku dikurangi 1 poin, kakiku luka dan berjuang untuk berjalan menuju
tempat les yang pada akhirnya juga tidak belajar, kini cobaan apa lagi yang Kau
berikan padaku? Tidakkah Kau melihat bahwa langit saja sepertinya mengerti
perasaanku? Tidakkah langit itu membisikan segala penderitaanku pada hari ini
kepadaMu? Mengapa hidupku ini dipenuhi kegagalan, penolakan, kerugian dan juga
kepedihan? Mengapa hari ini tak ada kejadian yang membuatku tersenyum?”
teriakku seraya menundukkan kepalaku di tengah halte yang sepi namun tidak
kedap air ini. Tentu saja sepi. Lagi pula, siapa yang ingin menaiki bis setelah
jam 10? Mungkin memang hanya aku yang melakukannya.
Aku berhenti berteriak ketika
aku merasa air hujan itu tidak menetes lagi. Aku mengangkat kepalaku dan
melihat seorang laki – laki sedang memanyungiku. Aku terheran ketika menyadari
bahwa ia membiarkan badannya diterpa angin dan hujan sekaligus dan memberikan
payungnya itu padaku.
“Pakailah, aku takut kau masuk
angin. Bis tidak lagi beroperasi pada malam hari. Dan maaf karena telah
menguping teriakanmu tadi, tapi kurasa kepedihan, kerugian, penolakan dan
kegagalanmu itu tidak seberapa. Ingat, di atas langit masih terdapat langit
yang lainnya dan di bawah tanah masih terdapat tanah yang lainnya. Lagipula,
bagaimana jika kejadian yang menimpamu itu adalah kegagalan setelah kau belajar
untuk mencapai nilai terbaik, namun semua usaha itu sia – sia karena uangmu
yang telah habis? Bagaimana dengan penolakan yang kau terima ketika kau telah
memenuhi segala permintaan pacarmu itu? Tidakkah itu namanya kau diperalat?
Lalu bagaimana jika kerugian yang kau alami itu berasal dari sebuah tuduhan
penggunaan narkoba pada sebuah toko makanan yang merupakan satu – satunya
sumber hidupmu? Bukankah hal itu juga merangkap sebagai kepedihan? Dan hal
itulah yang kualami pada hari ini. Tapi aku sadar, tidak selamanya hidup ini
akan berjalan dengan bahagia. Dan asal kau tahu, hidup ini tak bisa disebut
sebagai ‘hidup’ jika di dalamnya hanya menceritakan tentang kepedihan atau pun
kegembiraan. Hidup ini disebut sebagai ‘hidup’ jika di dalamnya terdapat
kepedihan dan kegembiraan yang menyatu, yang tidak kau alami sendiri.” ucap laki
– laki itu seakan membuka mata hatiku. Detik berikutnya, aku tersenyum
kepadanya. Lalu sebelum aku membuka mulutku untuk berterima kasih, ia telah berlari
menembus jalanan yang basah dan dipenuhi oleh rintik air hujan. “Lihatlah,
bukankah hari ini aku telah membuatmu tersenyum? Payung itu untukmu, kurasa kau
dapat mengembalikannya lagi jika kita di takdirkan untuk bertemu kembali!”
teriaknya dari seberang jalan, seraya melambaikan tangannya. “Sampai jumpa!”
lanjutnya lagi yang kubalas dengan senyuman. “ K.H?” gumamku seraya membaca
inisial namanya yang terletak pada gagang payung itu. “Baiklah, kurasa semua
yang kau katakan tadi benar.” kataku sambil tersenyum dan berjalan dengan pelan
menuju apartemenku. Tapi kini, aku tidak sendiri, aku bersama rintik hujan dan
payung baru yang menemaniku. Dan kuharap, aku dapat mengembalikan payung ini
kepadanya, suatu hari nanti.
-FIN-
Hayo, kira - kira yang namanya K.H siapa? Reader mau sequelnya gaa?? -> yaampun.__.
Gomawo yang udah baca^^
JANGAN LUPA COMMENTNYA, YAA~
No comments:
Post a Comment