Title : A Letter To My Idol
Length : Oneshoot
Genre : Angst , sad romance
Casts : 'Aku' as You
'Idolaku' as your bias/Idol
Author : ssdnn (Nia)
Rating : PG 14
Annyeonghaseyo, reader-deul!! Saya kembali lagi sambil bawa FF yang satu ini. Ini saya bikin sebenernya banyak terinspirasi dari kejadian temen - temen. Kayak temen saya yang baru aja dapet tiket konser Big Bang, terus temen saya yang harus menghemat buat beli album dan sebagainya. Sisanya, saya pakai otak saya untuk berimajinasi.
Saya minta maaf kalau ada salah pengetikan dan sebagainya, juga salah gelar, tempat dan lain - lain. So, Happy Reading ~
***
Jam dinding
di rumahku telah berdentang sebanyak 12 kali, menandakan bahwa saat ini waktu
telah menunjukan pukul 12 malam. Aku, ditemani dengan penyakit insomnia yang
selama ini kupunya, berusaha untuk merangkai kata – kata di dalam lembaran ini.
Kata – kata
yang akan kutulis ini menceritakan tentang kisahku, sebagai seorang penggemar
sekaligus murid SMP 3, dan idolaku, seorang artis laki – laki tampan yang
berada di Seoul, ibukota Korea Selatan.
Mungkin
bagi orang yang menilai karanganku melalui judulnya akan berpikir bahwa
karanganku ini terlalu berlebihan atau terlalu dramatis atau mungkin aku
terlalu berharap akan idolaku yang membaca karanganku. Mungkin memang iya. Aku
tahu, persentasenya tak sampai 5 persen baginya untuk membaca karanganku. Tapi,
apa salahnya untuk mencoba? Baiklah, singkat kata, inilah ceritaku, dengan
segala kekurangan maupun kelebihanku.
***
Disaat
malam hari, aku yakin bahwa kau pasti akan terlelap dengan waktu tidurmu yang
kurang lebih hanya 2 jam itu. Aku diberi waktu untuk tidur sekitar 8 jam dari
Tuhan, yang berarti 4 kali dari waktu tidurmu. Tapi, aku hanya memanfaatkan 3
jam dari waktu tidurku. 5 jam sisanya kugunakan untuk menonton setiap video
acaramu.
Saat jam
makan, aku tahu bahwa bahkan terkadang kau tak ikut untuk makan bersama temanmu
yang lain, dengan alasan bahwa kau sangat sibuk. Tetapi aku, yang diberi
makanan yang cukup, juga jam untuk makan yang teratur, malah asik bermain twitter dan Facebook untuk melihat berita terbaru tentang dirimu.
Saat kau
memenangkan acara musik ternama, saat kau dinyatakan sebagai pemenang pertama
di acara itu, aku menangis terharu ketika melihatmu juga menangis. Aku menangis
dalam diam seraya memujimu. ‘Kau pantas mendapatkan itu.’ pikirku seraya
tersenyum lebar, walaupun aku tahu kau tak dapat melihat itu.
***
Ketika aku
berjalan melewati pertokoan di mall, aku melihat pernak – pernik bergambar
dirimu. Aku mendekati pernak – pernik itu untuk melihat harga yang tertera pada
label tersebut. Aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa harganya setara dengan
uang jajanku selama 6 bulan.
Aku
segera pulang ke rumah, memecahkan celengan yang telah ku isi selama 4 bulan terakhir
ini. ‘Aku harus berhemat.’ pikirku.
Hari – hari
berikutnya, aku selalu berjalan kaki saat pergi ke sekolah atau pun untuk
sekedar berjalan – jalan. Di sekolah pun, aku dengan terpaksa menahan nafsu
makan mau pun minumku di kantin. Jujur, sewaktu itu aku sempat jatuh sakit.
Penghematan yang aku lakukan ternyata tak berjalan lancar sesuai keinginanku.
Penyakit maag yang kuderita ternyata menguras kembali uang jajan yang telah aku
kumpulkan. Tak cukup dengan penyakit maag, Tuhan memberikan penyakit insomnia
padaku, penyakit yang membuat aku tak dapat tidur. Tentu saja biaya pengobatan
itu kutanggu sendiri. Bisa saja aku digantung di pohon yang berada di belakang
kebun rumahku itu jika aku mengatakan bahwa aku menghabiskan uang jajanku demi
idolaku.
Dengan
total waktu 7 bulan, uangku kembali terkumpul. Aku pergi lagi ke toko itu,
namun apa yang kudapat? Aku tak melihat pernak – pernikmu terpajang disana. Didukung
dengan rasa penasaran, aku mencoba untuk menanyakan hal itu kepada petugas
kasir. “Mbak, itu pernak pernik yang ada disitu dulu, sekarang kemana, ya?” tanyaku seraya menunjuk sebuah
rak besar, yang dulunya merupakan tempat terpajangnya pernak – pernikmu. “Maaf,
Mbak.. Tapi..” ‘Jangan bilang kalau..’ pikirku mendahului pernyataan
selanjutnya yang akan ia katakan. “Pernak – pernik itu edisinya terbatas. Kalau
Mbak mau, bisa langsung pergi ke Korea buat beli pernak – perniknya.”
Aku
mengepalkan tanganku. Apa aku kesal? Ya, tentu saja. Tetapi, perasaan kesal
yang kumiliki itu menghilang seketika dan digantikan dengan perasaan kecewa
karena perjuanganku, pengorbananku untuk tidak membeli makan atau pun minum di
kantin, untuk tetap berjalan kaki dengan alasan ‘menghemat’ dan terlebih lagi,
untuk rasa sakit yang selama ini kupendam. “Oh, makasih Mbak atas
informasinya.” kataku sambil berusaha tersenyum. Miris.
Di saat
itu, aku sedang menonton televisi. Aku membelalakan mataku saat melihat berita
tentangmu. Bukan berita tentang kesuksesanmu, bukan juga tentang kondisi atau
pun popularitasmu. Berita itu memperlihatkan gambarmu yang sedang berjalan
dengan seorang gadis yang tak ku ketahui namanya. ‘Mungkin ia seorang fans,’
pikirku seraya menenangkan diri.
Tetapi, air
mata ini tak dapat kutahan lebih lama saat aku melihatmu menghangatkan tangan
gadis itu yang sepertinya sedang kedinginan di dalam gambar itu. Aku menunduk.
Perlahan, aku melihat sebuah tetesan merah pekat yang menodai lantai kamarku,
tempat aku menonton televisi. “Astaga! Mimisanku kambuh lagi.” gumamku tanpa
sadar sambil berdiri untuk mengambil sekotak tisu yang jaraknya tak begitu jauh
dari tempat dudukku. Mimisan itu akan datang disaat aku terkejut, atau pun
sedih. Ini merupakan penyakit turunan, yang tepatnya diturunkan oleh kakekku
sejak dulu.
Aku
memperbesar volume suara televisiku ketika aku mendengar namamu kembali
disebut. Ternyata, berita itu menduga bahwa kau keluar dari sebuah diskotik
bersama gadis itu. Saat itu juga, aku membuka twitterku dan mengecek timelineku.
“Sudah kuduga,” desahku saat melihat berbagai kalimat yang tak mengenakan hati
yang diketik oleh teman – temanku yang sebelum ini merupakan penggemarmu juga.
Aku merasa
bahwa para media telah mengobrak – abrik privasimu. Aku membelamu secara tak
langsung melalui internet. Mulai dari postingan,
sampai meng-non aktifkan forum – forum yang menulis kebohongan tentang dirimu.
Mungkin kau akan bertanya, ‘Mengapa? Apa aku sebaagi penggemarmu ini tak kecewa
saat melihat idolanya keluar dari diskotik yang berada di pinggiran jalan
bersama dengan seorang gadis cantik?’ Jawaban yang akan ku berikan sangatlah
sederhana, yaitu karena aku mempercayaimu. Dan jawaban itulah yang membuatku
nekat untuk bertengkar dengan orang yang menulis kebohongan tentangmu di
jejaring sosial.
Karena aku
tahu, mereka penggemar yang labil, yang hanya karena suatu masalah kecil saja,
mereka yang tadinya mengagumimu menjadi menjelek – jelekan dirimu.
Seminggu
setelah berita mengejutkan itu, kau dan pihak penanggung jawabmu mengadakan
sebuah pertemuan yang dihadiri oleh dirimu sendiri, pihak penanggung jawabmu
dan yang terakhir adalah media masa.
Senyumku
mengembang ketika aku mendengar setiap jawaban yang kau berikan kepada para
media masa. Dan tepat seperti dugaanku, para penggemar labil itu kembali
mengagumi dirimu saat mereka tahu kau yang mengambil alih seluruh pertemuan itu.
Tepat di
pagi hari, pihak sekolah menghubungiku melalui telepon rumah. Aku cukup
terkejut saat mereka memintaku untuk datang ke sekolah sekarang juga, bersama
orang tuaku. ‘Padahal hari ini kan Hari Sabtu.’ gerutuku saat bersiap – siap,
setelah memberitahukan pertemuan dadakan itu kepada mamaku.
Aku
berjalan bersama mamaku di koridor sekolah. Kami berdua duduk berhadapan dengan
guruku di bangku yang telah disediakan. “Nak,” kata guruku berusaha memulai
pembicaraan. “Nilaimu turun drastis.” lanjutnya lagi dengan menghembuskan nafas
berat. Aku terkejut mendengar perkataan itu. “Gimana kamu mau lulus SMP 3 kalau
kamu tetap perhatiin itu cowok – cowok Korea yang bahkan kamu gak tahu
bahasanya?!?!” teriak mama membahana di ruangkan kelas. Aku sedih mendengar
perkataan mama. Bukan karena mama yang meragukan kelulusanku, tetapi karena
mama yang secara tidak langsung menghina idolaku. ‘Aku memang gak tahu
bahasanya, Ma. Tapi, setidaknya aku tahu perasaan mereka, karena aku juga punya
perasaan.’ jawabku dalam hati. Aku menundukan kepalaku, menatap pada noda darah
yang terdapat pada meja guruku itu. Dan pada saat itu juga, aku menutup
hidungku, yang ternyata merupakan sumber dari noda itu. Ya, aku kembali
mimisan.
Guruku
langsung panik ketika mengetahui bahwa darah yang sedari tadi mengalir dari
hidungku tak kunjung berhenti, malah bertambah banyak. Ia menatap mamaku,
seakan meminta kepada mama agar berhenti mengomel dan mengobati aku. Tapi apa
reaksi mama? Mama hanya membalas menatap guruku dan di detik berikutnya, ia
kembali meneruskan omelannya.
“Pokoknya,
segala fasilitasmu mulai dari handphone, laptop, komputer, televisi, itu semua
mama sita!” tambah mama dengan ganasnya. ‘Ma, jangan dong ma..” pintaku dengan
nada memohon sambil memegangi tisu yang menampung mimisanku. “Gimana aku tanya
tugas yang aku gak ngerti kalau gak ada handphone?” lanjutku dengan nada
memelas. Oke, ini hanya alasan nomor sekian yang sebenarnya ku pikirkan. Alasan
pertamaku untuk menolak ide ini adalah kau.
‘Bagaimana caranya agar aku dapat mengetahui informasi terbaru tentangmu apabila tidak ada semua fasilitas
itu?’ tanyaku dalam hati.
“Mama tahu
itu cuma alesan! Kamu sebenarnya gunain fasilitas itu cuma buat ngeliatin cowok
– cowok Korea itu, kan?!?!” sindir mama kepadaku. Kali ini aku menunduk. Tak
membantah atau pun menyetujuinya.
Aku bersama mama akhirnya
kembali pulang ke rumah. Kami berdua sama – sama diam dengan pikiran kami
masing – masing. Kalau aku, aku sedang memikirkan bagaimana caranya untuk
keluar dari seluruh rintangan ini. ‘Pasti ada caranya.’ batinku. Kalau mama,
mungkin ia sedang berpikir bagaimana menyengsarai hidupku lebih lanjut.
Sesampainya
di rumah, mama berhenti tepat di depanku. “Oke, mama kasih kamu kelonggaran.
Sampai jam 9 malam ini, kamu boleh gunain fasilitas kamu. Tapi, setelah jam 9
malam ini hingga kamu kuliah nanti, jangan harap kamu bisa menikmati fasilitas
kamu lagi kalau kamu masih berani ngelawan mama, kecuali..” kata mama penuh
penekanan pada kata ‘kecuali’. “Kecuali apa, Ma?” tanyaku penasaran. “Kecuali
kamu bisa kasih mama nilai setidaknya 9 untuk semua ulanganmu dengan tanpa
terkecuali, maka mama akan mempersingkat hukumanmu. Jadinya hanya sampai kamu
lulus SMP ini.” kata mama seraya menatap mataku dalam. “Oke. Kalau itu yang
mama mau. Aku coba.” kataku sembari membalas tatapan mata mama dan berlalu
menaiki tangga menuju kamar tidurku.
Aku berdiri
di depan lemari kaca yang berada di dalam kamarku. ‘Aku bukan orang yang
cantik, bukan juga orang cerdas. Lantas, apa salah jika impianku adalah untuk
bertemu denganmu?’ tanyaku seraya mengamati poster – poster mau pun foto – foto
dirimu yang tertata dengan rapi di dekat lemari itu.
Jujur, aku
sangat tidak yakin akan kata yang kuucapkan tadi kepada mama. Jangankan untuk
mendapatkan nilai 9, jika saja aku mendapatkan nilai 8 setidaknya dalam
ulanganku, mungkin satu sekolah akan gempar.
Tapi,
taruhan yang mama pergunakan adalah fasilitasku, dimana itu merupakan satu –
satunya alat penghubung yang ku miliki untuk mengetahui kabarmu. Maka dari itu,
aku akan mencoba, mencoba untuk tidak menyerah pada hal yang ku tahu pasti akan
ku capai.
Setelah
hari itu, aku seperti menjadi seorang gadis kutu buku. Kemana – mana aku pasti
membawa buku pelajaranku. Awalnya, aku berpikir bahwa kehidupanku mulai
membosankan. Tetapi, pikiran itu segera kubuang jauh – jauh setelah hari itu,
hari dimana papa mengubah sudut pandangku tentang kehidupanku yang sekarang.
Kejadian
itu berawal saat papa memintaku untuk menghampirinya yang sedang terduduk di
sofa ruang keluarga. Aku menurutinya. Dengan pandangan mata yang tak kulepas
dari bukuku, aku berjalan menghampirinya. “Ada apa, Pa?” tanyaku tanpa menoleh
kearahnya. “Papa punya penawaran bagus untukmu. Tapi, bisakah kau juga
menjanjikan nilai 9 pada papamu ini?” tanya papa seraya menatapku. “Ya.”
jawabku seadanya. Aku menatap kembali rumus – rumus fisika yang telah ku
rangkum itu, seolah bukuku lebih menarik dari pada pembicaraan yang akan
dibahas olehnya. Menurutku, papa juga akan melakukan penawaran yang sama dengan
mama.
“Papa punya
tiket konser idolamu itu. Kata temen papa, idolamu itu sebentar lagi mau konser
di Jakarta. Papa pikir kamu mau nonton, jadinya papa beli itu tiket buat kamu.
Dan gak Cuma itu, papa juga punya tiket pesawat terbang ke Korea Selatan. Papa
sudah minta 2 tiket karena tadinya papa pikir kamu mau ikut sekalian temenin
papa kerja. Tapi karena akhirnya idola kami itu adain konser di sini, jadi
pilihannya ada di tangan kamu.” kata papa sambil mengakhiri kalimat itu dengan
senyuman khas miliknya.
“Pa, papa
tahu, kan, kalau aku gak suka bercanda kalau ujung – ujungnya ada kaitan sama
idolaku?” tanyaku seraya menatap kecewa pada papaku karena aku pikir papa hanya
ingin menghiburku saja. “Dan kamu tahu kan kalau sekarang pembicaraan papa lagi
serius? Atau.. Kamu gak percaya sama papa?” tanya papa seraya mengambil 2 buah
amplop putih di atas meja. Aku terkejut. ‘Apa papa beneran punya tiket itu?’
pikirku seraya mengambil tisu untuk menutupi darah yang baru saja keluar dari
hidungku.
“Ini
tiketnya. Papa kasih kamu waktu sampai minggu depan, dan minggu depan itu kamu
sudah harus mempunyai jawaban.” kata papa sambil menunjukkan tiket itu dan
berlalu pergi meninggalkanku dengan mimisanku.
Sekarang,
tempat istirahatku di sekolah bukanlah di kantin lagi. Tempat itu berpindah ke
perpustakaan. Aku mendengar desas – desus dari temanku tentang konsermu di
Jakarta, kotaku sekarang berada.
Dan kurasa,
dewi fortuna sepertinya tidak sedang berpihak kepadaku. Mereka berkata bahwa
kau akan datang sewaktu aku Ujian Nasional. Aku menutup buku pelajaran yang
sedang kubaca dan pergi keluar dari perpustakaan. Emosiku seketika tersulut
karena mendengar perkataan itu. Aku segera mengambil tasku dan berlari untuk
menenangkan diri.
Sebelum
pulang, aku pergi ke sebuah danau yang ku yakini pasti sekarang sedang sepi.
Aku menangis sejadinya disana. Sebenarnya, menangis adalah hal yang sangat
merugikan untukku. Selain mataku yang mengeluarkan cairan, tetapi juga hidungku
yang mengeluarkan darah. Merugikan, bukan?
‘Gimana aku
bisa nonton kalau begitu caranya? Kenapa konsernya gak diundur aja?!’ teriakku
dalam hati. ‘Padahal aku sudah belajar keras buat nonton konser kamu. Meskipun
itu cuma nonton dan gak bisa ngeliat kamu secara pribadi, tapi aku rela..’
rintihku dalam hati.
Setelah
kira – kira 2 jam berdiam diri, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan
wajah pucat pasi.
“Kamu
kenapa?” tanya papa dengan raut cemasnya. “Aku gak apa – apa, kok Pa. Tadi Cuma
mimisan di kelas, jadinya mukaku pucet, deh.” terangku berbohong, sambil
menaiki tangga menuju kamar. “Pa, aku tidur dulu, ya. Habis tidur aku mau belajar.
Nanti malam aku gak usah disiapin makanan, soalnya aku tadi baru aja makan.
Jangan ganggu aku, ya Pa. Aku lagi mau sendiri. Oh iya, Pa.. Soal tiket
konsernya.. Dibatalin aja. Aku lebih milih ikut papa.” kataku sambil berusaha
tersenyum pada papa.
“Ya sudah,
terserah kamu aja.” kata papa sambil menatapku bingung. Aku berjalan dengan
gontai menuju bangku kamarku. Aku mengeluarkan buku kimiaku dan berusaha untuk
konsentrasi dalam pelajaran itu, namun hasilnya nihil. Dan saat itu, aku merasa
gagal untuk menjadi penggemarmu, atau lebih tepatnya pendukungmu. Karna
menurutku, aku adalah gadis yang beruntung karena bisa mendapatkan setidaknya
satu tiket yang sekarang sedang diperebutkan oleh orang lain. Tapi aku menolak
keberuntungan itu.
Aku lebih
memilih untuk belajar daripada menonton konsermu. Bagiku, kita masing – masing
mempunyai masa depan. Seperti kau dengan gelarmu sebagai artis dan aku sebagai
pelajar yang masih ingin meneruskan sekolahku.
Dan
terlebih lagi, jika aku menonton konsermu tapi nilaiku jelek, sama saja dengan
menghilangkan kesempatan bagiku untuk mendapatkan fasilitas itu lagi, yang
berarti aku akan kehilangan seluruh kabarmu setelah konser itu.
***
Jam di
kamarku berdentang sebanyak 11 kali, seakan menyuruhku untuk tidur. Tetapi,
berat rasanya bagiku untuk menutup mataku saat ini. ‘Insomnia lagi, deh..’
pikirku seraya merebahkan badanku pada kasur ranjangku.
Saat itu, aku seperti melihat bayanganmu yang sedang berjalan
menghampiriku. Aku terkejut bukan main. Aku menepuk pipiku berulang – ulang,
tetapi kau masih tetap berada disana, berdiri dengan menggunakan satu kaki dan
tangan yang dimasukkan kedalam saku celana jeansmu juga dengan mengenakan kaos
putih yang biasanya aku lihat di video – video atau pun di foto – fotomu itu.
“Tidak. Itu pasti hanya khayalanku saja.” gumamku seraya menunduk untuk
menghentikan mimisan yang ternyata telah mengalir dari hidungku sejat dari. “Waeyo? ( Kenapa? )” Ya Tuhan, apa aku
bermimpi? Benarkah tadi ia berbicara padaku? Jika iya, maka aku berarap agar
kau tak akan membangunkanku secara tiba – tiba.
Aku diam,
tak menjawab pertanyaanmu. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk mencerna
semua ini. Tapi pada detik berikutnya, aku berdiri dan menarik tanganmu menuju
balkon yang ada di belakang kamarku.
Kau duduk
di sebuah kursi ayunan yang dapat memuat 2 orang, lalu aku juga ikut duduk
disampingmu.
“Kau lihat bintang itu? Itu namanya bintang sirius, bintang yang paling
terang dari antara semua bintang, kecuali matahari. Tapi, sinarnya akan redup
atau bahkan hilang setelah ia melakukan itu. Aku ingin menjadi bintang sirius
bagimu, yang berarti menjadi pendukungmu yang setia, walaupun entah malam ini,
esok hari, lusa atau pun sebulan maupun satu tahun yang akan datang aku akan
mati. Aku telah berusaha semampuku, walaupun hasilnya sia – sia.
Dan aku
tahu, kau tak mungkin mengerti perkataanku karena perbedaan bahasa yang menjadi
penghalang dunia kita, tapi aku yakin kau pasti mengerti perasaanku, karena
kita sama – sama memiliki perasaan.. “ kataku sambil menangis.
“Uljima! ( Jangan menangis! )” balasmu
seraya mendekapku ke dalam peukanmu. “Apa pun yang terjadi, aku mohon,
anggaplah aku sebagai penggemarmu, penggemar setiamu.” Kataku dan berlalu tidur
dengan posisi masih di dalam pelukanmu.
Sinar
matahari pagi merasuki indra penglihatan yang kumiliki. Aku membuka mataku dan
melihat bahwa aku tertidur di atas kursi ayunan. Aku berjalan dengan lesu
menuju lemari pakaian dan mengambil baju seragamku. Jika saja aku tak mengingat
bahwa hari ini adalah hari pertama Ujian Nasionalku, maka mungkin aku tak akan
bangun sepagi ini.
Setelah
selesai mandi, aku bergegas turun ke lantai bawah untuk mengambil selembar roti
dan memasukannya secara asal kedalam mulutku. Aku memutuskan untuk berjalan
kaki menuju sekolah, setelah aku mempertimbangkan bahwa aku tak akan telat
karena itu.
Aku
memasuki ruang kelas dan menduduki bangku yang telah berlabel nomor ujianku.
Aku mengerjakan soal – soal yang diberikan dengan semampuku. Sambil berharap
akan nilai yang terbaik, aku menyusuri setiap soal dengan mataku. ‘Cukup
mudah.’ pikirku.
***
4 hari
telah berlalu dan itu berarti aku telah menyelesaikan Ujian Nasionalku dan
saat itu, aku masih berharap agar
setidaknya aku dapat berkhayal lagi tentangmu, dalam wujudmu yang sesungguhnya
seperti malam itu.
Saat itu,
aku sedang berjalan menuju kantin sekolah. Tapi tunggu. Aku melihatmu sedang
berjalan ke arahku, dengan menggunakan pakaian yang sama pada malam di rumahku
itu. Aku berusaha menyekat darah mimisan yang lagi – lagi mengalir disaat yang
tidak tepat itu. Tapi aku merasa sia – sia karena hampir seluruh baju seragamku
telah dipenuhi darah dan tiba – tiba saja, semuanya menjadi gelap.
Samar –
samar, aku melihat dinding bernuansa serba putih mengelilingiku. “Lo udah sadar?
Tadi pihak sekolah panggil dokter supaya kesini. Dokter itu bilang lo kena
penyakit skizofrenia, Awalnya gue
sempet bingung itu penyakit apaan. Tapi si dokternya kasih tahu, skizofrenia itu penyakit yang gak bisa bedain halusinasi sama kenyataan.
Dan tadi lo juga pingsan gara – gara kehilangan banyak darah.” jelas temanku,
Karina dengan panjang lebar. “Emangnya lo halusinasi apaan sih? Bingung gue..”
lanjutnya lagi. “Eh? Apa ya? Gue gak tahu..” jawabku, berbohong. “Oh. Ya udah,
kalo lu lupa juga gak apa – apa. Eh, ngomong – ngomong, bokap lo ada di depan,
lagi ada urusan sama si dokter. Terus, lo tahu, gak? Lo masuk peringkat 3 besar
loh seangkatan!! Tadi tuh gue seneng banget! Akhirnya sahabat gue pinter juga!
Rata – rata lo juga lebih tinggi daripada gue. Gue aja Cuma 92.. Lo 95.” kata
Karina sambil tersenyum lebar. “Masa? Yang bener, Rin?!?” tanyaku seraya
menatap tepat pada manik matanya. “Ya ampun! Masa lo gak percaya sama temen lu
sendiri?! Ini lihat! Gue tuh tadi sempet fotoin!” kata Karina sambil
menunjukkan handphonenya itu. “Oh. Iya – iya. Gue percaya.” kataku seraya
tersenyum kepadanya.
Seminggu
sudah berlalu semenjak kejadian mimisan di sekolah itu. Dan sekarang, aku
berada di Bandara Soekarno – Hatta, Bandara Internasional Jakarta. Aku disini
untuk menepati perkataanku kepada papa untuk ikut bersamanya ke Korea Selatan.
Samar –
samar, aku mendengar teriakan dan bisikan orang – orang, terutama para gadis.
Mereka membawa sebuah papan besar yang kira – kira berukuran 1 meter itu sambil
meneriaki satu nama yang tak dapat ku dengar dengan jelas. Karena jarakku yang
cukup jauh, aku pun juga tak dapat melihat papan itu. Tapi aku tidak
menghiraukan itu, aku tetap berjalan lurus menuju tempat pemeriksaan barang –
barang.
Saat sedang
mengantri, mataku tiba – tiba menangkap seorang yang sangat kukenali di tempat
sepi itu. Tebak itu siapa? Itu adalah kau.
Aku melihatmu menggunakan kaos putih dan celana jeans, persis seperti apa yang
kulihat sewaktu gambaranmu itu berada di rumah maupun di kantin sekolahku.
Aku
menatapmu dengan tatapan ragu dan tak percaya. Seperti magnet, sosok tubuhmu
seakan tak pernah lepas dari indra penglihatanku. Hingga akhirnya, kita bertemu
di satu titik, dimana saat itu kau tersenyum padaku.
Tapi sayangnya,
aku lupa untuk tersenyum balik kepadamu karena aku terlalu tegang dan bingung
juga ragu akan kehadiranmu yang datang secara tiba – tiba itu.
Aku merasa
udara disekitarku semakin menipis dan waktu terasa berhenti saat kau berhenti
tepat di depanku. “Kata temen papa, dia konsernya diundur. Kamu beruntung bisa
bertemu secara pribadi dengannya. Dan satu lagi, ini bukan mimpi atau pun
halusinasi.” bisik papa seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku
terkejut saat melihat kau yang semakin mendekat kearahku, lalu menunduk untuk
mensejajarkan tinggimu yang seperti tiang listrik itu, dengan tinggiku yang
seperti kurcaci. “Gwaenchana-yo? (
Tidak apa – apa? )” tanyamu membuyarkan lamunanku. “Eh? N-nan gwaenchana.. ( Eh? A – aku tidak apa – apa.. )” jawabku
dengan terbata – bata.
Setelah
itu, kau berlalu sambil tersenyum, meninggalkanku yang masih menatap
kepergianmu dengan segudang perasaan yang berbeda. “Ah! Aku lupa memfotonya!”
pekikku saat kau benar – benar telah pergi menuju ruang tunggu pesawatmu. Tapi
untuk selanjutnya, aku menari kedua sudut bibirku, membentuk sebuah senyuman.
‘Setidaknya tadi Tuhan mengontrol mataku untuk tetap berfokus padamu.
Setidaknya Ia tahu bahwa waktu yang kita miliki sama – sama tidak banyak dan
setidaknya Ia tahu, bahwa aku sangat senang dengan pertemuan itu..’ ucapku
dalam hati sambil berharap agar dilain kesempatan, kita dapat bertemu lagi.
Dari : Bintang siriusmu
Untuk : Idola tercintaku
-FIN-
2 comments:
daebak banget nonna T^T kerasa bgt
Hehehe:D
Makasih saeng^^
Post a Comment